Jumat, 21 Februari 2014

0 AKULTURASI BUDAYA HINDU-BUDHA DAN TRADISI LOKAL DI NUSANTARA



Pada awal masuknya pengaruh asing seperti Hindu-Budha ataupun Islam di wilayah Nusantara tidak langsung begitu saja para pendatang tersebut menanam kebudayaan yang mereka bawa kepada masyarakat sekitar.Mereka awalnya beradaptasi dengan kebudayaan lokal terlebih dulu baru setelah itu mereka menanamkan budaya mereka. Dalam proses penanaman itu tidak jarang menemui kendala seperti kuatnya pengaruh kebudayaan lama dan tidak bisa digeser dengan budaya yang mereka bawa. Maka dari itu mereka melakukan suatu pencampuran antara budaya mereka dengan budaya lokal atau yang lebih dikenal dengan akulturasi.
Akulturasi adalah perpaduan yang terjadi antara dua kebudayaan berbeda atau lebih yang kemudian bertemu dan menghasilkan suatu kebudayaan yang baru tanpa menghilangkan unsur dari kedua kebudayaan yang bertemu tadi. Unsur kebudayaan baru yang masuk kemudian bercampur dengan kebudayaan lama yang kemudian menghasilkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur-unsur kebudayaan lama. Seperti pada unsur kebudayaan lama dari masyarakat Nusantara yang berakulturasi dengan unsur kebudayaan baru yakni Hindu-Budha dan keduanya menghasilkan unsur kebudayaan baru.
Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.
Memang dulu sebelum adanya agama yang masuk dari luar, di Nusantara ini masih menggunakan sistem kepercayaan lama yakni Animisme dan Dinamisme. Namun setelah masuknya agama-agama dari luar terutama Hindu-Budha kemudian sistem kepercayaan tadi  bercampur  atau berpadu dengan Hindu Budha yang kemudian menghasilkan suatu kebudayaan yang baru.
Kepercayaan baru itu tidak meninggalkan kepercayaan asli dari masyarakat Nusantara dan bahkan kepercayaan itu bercampur dengan baik. Ini dapat dilihat dari pemujaan yang tetap dilakukan oleh masyarakat terhadap nenek moyang maupun juga terhadap dewa-dewa yang ada dalam Agama Hindu yang notabenya kepercayaan baru yang berkembang ke Nusantara.
Memang didalam unsur budaya baru itu tidak bisa begitu saja masuk ke Nusantara. Ini dikarenakan masyarakat Nusantara tidak mudah begitu saja dalam menerima unsur kebudayaan baru karena mereka masih memiliki unsur kebudayaan lama yang tetap mereka pertahankan hingga setelah budaya baru itu masuk.           
Selain itu yang menyebabkan terjadinya akulturasi budaya adalah sikap dari masyarakat Nusantara yang tidak bisa menerima unsur budaya begitu saja dan juga harus disesuaikan dengan unsur kebudayaan lama mereka. Tidak mudah begitu saja meninggalkan unsur kebudayaan lama yang telah mereka peroleh dari nenek moyang. Harus ada suatu kecakapan lokal dari masyarakat untuk memerima budaya baru dan kemudian mengolahnya dan disesuaikan dengan budaya lama, kecakapan lokal itu dapat disebut dengan local genius.
Akulturasi dari kebudayaan lama dengan Hindu-Budha dapat dilihat dari :
  1. Segi Sosial
Sebelum masuknya Hindu-Budha ke Nusantara masyarakat belum mengenal dengan apa yang namanya sistem pembagian masyarakat atau kasta. Semua masyarakat pada masa itu memiliki kedudukan yang sama dan masih hidup dalam suatu kelompok-kelompok tertentu.  Namun setelah masuknya unsur baru yang berupa Hindu-Budha  ini kemudian masyarakat pada masa itu kehidupan sosialnya berubahdan dibedakan atas sistem kasta.
  1. Sistem Pemerintahan
Pada masa sebelum masuknya Hindu-Budha masyarakat Nusantara mengenal sistem pemerintahan yang dipimpin oleh kepala suku dan juga keturunannya. Kepala suku dipilih masyarakat atas kemampuannya dalam berbagai hal misalnya kemampuan untuk mengalahkan musuh ataupun juga dalam berburu hewan.Namun setelah masuknya pengaruh Hindu-Budha kemudian sistem pemerintahan berubah namun masih juga memiliki unsur budaya lokal, perubahan ini menjadi seorang raja yang memimpin sebuah wilayah atau negara. Perkembangan itu menyesuaikan dengan yang ada di India karena India merupakan daerah awal dimana Hindu-Budha tumbuh.Contohnya  ialah  nama Raja Kutai yang pertama pada saat itu adalah Kudungga yang merupakan nama orang asli penduduk pribumi pada masa itu, Kudungga merupakan seorang kepala suku.  Namun setelah itu nama anak dari Kudungga yaitu Aswawarman merupakan nama yang sudah mendapat pengaruh India. Selain pemerintahan juga mendapat pengaruh dari India yang dari kesukuan menjadi  sebuah kerajaan.
  1. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. Di antara benda-benda itu ada lukisan seorang naik perahu, ini memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka. Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme).
Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, disamping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.
Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.
  1. Kesenian
  1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu- Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian- bagian candi dan stupa adalah unsur-unsur dari India. Bentuk candi- candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
  1. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding- dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding- dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati.
Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.
  1. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusasteraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan).
Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari.
Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh- tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh- tokoh ini tidak ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).
Di dalam kesenian ini akulturasi sangat terlihat jelas seperti contohnya pada seni rupa atapun patung dan juga relief yang ada di Nusantara dulu sepeti pada relief di Candi Borobudur yang menceritakan tentang bagaimana perjalanan Sang Budha Gautama. Bentuk akulturasi dari kebudayaan ini dapat dilihat dari relief yang menggambarkan tentang keadaan alam dan  geografis dari wilayah Nusantara sendiri di masa lalu seperti adanya hiasan burung merpati ataupun juga hiasan tentang gambar dari perahu bercadik yang tidak kita temukan di India.
Dalam seni sastra akulturasi nampak jelas  seperti pada Sastra Jawa yang mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan India. Proses ini terjadi dengan penyerapan unsur-unsur kebudayaan India terlihat dari prasasti yang menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Namun seiring dengan bentuk akulturasinya dengan budaya lokal kemudian dari huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta ini dikembangkan ke dalam Bahasa Jawa Kuna ataupun bahasa yang lainnya yang masih dalam satu  konteks bahasa.
  1. Sistem Penanggalan
Kalender atau sistem penanggalan yang ada di Nusantara yaitu yang menggunakan tahun Saka merupakan sistem penanggalan yang mendapat pengaruh dari budaya yang ada di India.Tidak diketahui pasti kapan nenek moyang mengenal sistem pertanggalan dengan tahun saka ini. Namun diduga orang India mengenalkan unsur-unsur kebudayaan tentang pertanggalan ini sejak menjelang abad ke 5 M yang kemudian di terapkan dalam kehidupan  sehari-hari. Ini dapat dilihat Prasasti Tugu yang dikeluarkan Raja Purnawarman dari Tarumanegara yang menyebutkan unsur-unsur pertanggalan yakni tanggal 8 paruh gelap, bulan Phalgina dan 13 paruh terang bulan Caitra. Pertanggalan yang dilakukan oleh Purnawarman adalah untuk menandai pembangunan Sungai Gomati.Sebelum mengenal sistem penanggalan Saka, nenek moyang dulu menggunakan rasi bintang sebagai penanda misalnya para petani dulu untuk melihat perubahan musim dalam setahun biasanya menggunakan gugusan bintang Weluku yang biasanya sekarang ini nampak pada Bulan September sampai Maret. Namun setelah masuknya Hindu-Budha, sistem penanggalan kemudian mendapat pengaruh yang signifikan yakni dengan menggunakan tahun Saka sebagai sistem penanggalan yang digunakan oleh masyarakat setempat.
  1. Arsitektur
Dalam segi arsitektur yang ada semacam penyempurnaan bangunan setelah masuknya budaya Hindu-Budha. Pada awalnya masyarakat Indonesia sebelum masuknya budaya Hindu-Budha sudah mengenal tentang sistem arsitektur atau bangunan. Ini dapat dilihat dari adanya punden berundak yang sering dikaitkan dengan budaya Animisme dan Dinamisme atau pemujaan terhadap leluhur mereka. Namun seiring dengan adanya budaya Hindu-Budha yang masuk ke wilayah Nusantara, budaya nenek moyang itu mengalami perkembangan yang signifikan.
 
Perkembangan itu dapat dilihat dari Candi Borobudur ataupun juga bangunan di akhir masa Majapahit (abad 14 candi-candi di lereng Penanggungan, Arjuna, Lawu) dibangun dengan mengambil bentuk pundek berundak meskipun Majapahit  merupakan kerajaan bercorak Budha.
Ini dapat membuktikan adanya suatu bentuk akulturasi antara budaya asli nenek moyang dengan pengaruh Hindu-Budha.

0 komentar:

 

INDAHNYA BERBAGI™ Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates